HUKUM SYARA’
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah
“Ushul Fiqih”
Dosen Pengampu
: Zuhri Humaidi, M.S.I
Disusun Oleh :
Dina
Veronita 933408716
Kelas E
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT,
yang telah memberikan rezeki yang berlimpah berupa harta yang dititipkan kepada
manusia sebagai amanah di muka bumi. Shalawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW manusia pilihan yang telah
menyampaikan wahyu kepada umatnya yang dapat menerangi kehidupan umat Islam
hingga akhir zaman.
Berkat
rahmat dan inayah Allah SWT akhirnya Makalah
ini dapat terselesaikan meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Makalah
ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah ‘’Ushul Fiqih ’’.
Kediri, 01 Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang......................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................
1
1.3 Tujuan...................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................
2
2.1
Pengertian Hukum Syara’....................................................................
2
2.2
Pembagian Hukum Syara’...................................................................
3
2.2.1
Pengertian Hukum Taklifi.................................................... 3
2.2.2
Pengertian Hukum Wadh’i.................................................. 10
2.3
Tujuan Diturunkannya Syari’at..........................................................
14
BAB III PENUTUP.............................................................................................
16
3.1 Kesimpulan.........................................................................................
16
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
17
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Al-Qur’an
merupakan syariat Islam yang bersifat menyeluruh. Ia merupakan sumber dan
rujukan pertama bagi syariat, Karena terdapat
kaidah-kaidah yang bersifat global beserta rinciannya. Jika Al-Qur’an
merupakan syariat Islam yang bersifat menyeluruh, maka mayoritas penjelasannya
adalah bersifat global dan sedikit sekali yang terinci.
Sejalan dengan pesatnya kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan perkembangan dan perubahan secara
cepat dalam masyarakat. Banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat, khusunya islam, yang ketentuan –ketentuan hukumnya
tidak terdapat secara tegasa dan jelas, baik salam Al-Qur’an maupun hadis.
Untuk memberikan kepastian hukum terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, maka
Islam memberikan jalan kepada umatnya untuk menggunakan akal pikirannya secara
cermat, teliti dan bersunguh-sungguh
dalam menetapkannya dengan tepat dan benar.
Dengan demikian bahwa hukum Islam
merupakan pedoman yang tepat untuk memahami hukum syara’ yang menjelaskan
tentang perbuatan orang yang mukallaf berupa tuntutan dan anjuran.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Apa
pengertian hukum syara’ ?
b.
Bagaimana
pembagian hukum syara’ ?
c.
Apa tujuan
Syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya?
1.3 Tujuan
-
Agar
pembaca bisa mengerti dan memahami tentang pengertian hukum syara’
-
Agar
pembaca bisa mengerti dan memahami tentang pembagian hukum syara’
-
Agar
pembaca bisa mengerti dan memahami tujuan Syara’ dalam menetapkan
hukum-hukumnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Hukum syara’
Syari’ah
secara etimologis berarti “jalan keluar air untuk minum”.[1]
Syari’ah juga diartikan al-‘utbah (lekuk-liku lembah).[2]
Makna harfiah syari’ah adalah rujukan tindakan umat Islam dalam
beragama yang erat hubungannya dengan masalah akidah, ibadah, dan muamalah.kata
syari’ah berasal dari bahasa Arab yaitu syara’a, yasyra’u,syar’an wa
syari’atan yang berarti jalan
ketempat air. Sedangkan menurut terminologi syari’at berarti jalan yang
diterapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan hidupnya untuk
mewujudkan kehendak Tuhanagar hidupnya bahagia dunia akhirat[3]
Hukum
syara’ merupakan kata majemuk yang berasala dari bahasa Arab (al-hukm
asy-syar’i) yang terdiri dari dua
kata yaitu hukum dan syara’. Dalam kamus besar bahasa indonesia. Kata
hukum di definisikan, peraturan yang di buat oleh penguasa atau adat yang
berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat. Sedangkan pengertian hukum syara’
secara singkat disebut yaitu hukum islam.[4]
Menurut
literatur hukum Islam mempunyai tiga
pengertian yaitu sebagai berikut:
a. syaria’ah
dalam arti hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa.
b. syari’ah
dalam pengertian hukum Islam, baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun
yang dapat berubah sesuai perkembangan masa.
c. Syari’ah
dalam pengertian hukum yang terjadi berdasarkan istinbath dari Al-Qur’an
dan Al-Hadis, yaitu hukum yang diinterprestasikan dan dilaksanakan oleh para
sahabat Nabi,hasil ijtihad dari para mujtahid dan hukum-hukum yang di hasilkan
oleh para Ahli hukum islam melalui metode qiyas dan ijtihad.[5]
Menurut
definisi yang di berikan para ahli syari’at ialah segala kitab Allah
yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang
diatur tersendiri. Dengan demikian syari’at itu adalah nama bagi
hukum-hukum yang bersifat amaliyah.
Waulaupun
mula-mulanya syari’at itu di artikan agama sebagaimana yang di
singgung Allah dalam surat Asy Syura:13, namun kemudian di khususkan penggunaannya
untuk hukum amaliyah. Pegkhususan ini dimaksudkan karema agama pada dasarnya
adlah satu dan berlaku universal, sedangkan syari’at berlaku untuk
masing-masing uman dan berbeda dengan umat-umat sebelumnya. Demikian syariat
lebih lebih khusus dari agama. Syari’at adalah hukum amaliyah yang
berbeda menurut perbedaan rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian
mengoreksidan menaskh yang datang lebih dahulu; sedangkan dasar agama yaitu
akidah tauhid tidak berbeda antara rasul-rasul.[6]
Ahli
ushul merumuskan bahwa syari’at adalah khitab syari’ yang berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan para mukallaf yang mengandung tuntunan untuk dikerjakan
atau memilih mengerjakan atau tidak;atau adala sesuatu sebagai sebab,syarat
atau penghalang.[7]
Di
kalangan ulama fiqh, yang di maksud dengan hukum syara’ adalah atau sunnah atau
haram atau makhruh atau mubah.[8]
2.2 Pembagian Hukum Syara’
2.2.1 Hukum
Taklifi.
a. Pengertian
Hukum takhlifi ialah “hukum yang di kehendaki dilakukannya suatu
perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakan atau disuruh memilih antara
melakukan dan meninggalkan”.[9]
Pelaksanaan hukum taklifi senantiasa dalam batas-batas kemampuan
seorang mukallaf untuk melaksanakannya. Dengan kata lain, tidak seorang
mukallaf pun yang tidak dapat melaksanakan hukum taklifi yang di bebankan
padanya.[10]
Contoh hukum taklifi yang menuntut kepada mukallaf untuk
mengerjakannya:
a. berpuasa di bulan ramadan. QS. Al-Baqarah/2:183
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.
b. melakukan ibadah haji bagi yang mampu. Lihat QS. Al-Imran/3:97:
¬!ur... n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 .... ÇÒÐÈ
Artinya: ... mengerjkan haji ke baitullah adalah kewajiban
manusia kepada Allah...
Contoh hukum
taklifi yang menghendaki untuk di tinggalkan oleh mukallaf:
a. Makan bangkai, darah, dan daging babi. Lihal QS. Al-Maidah/5:3
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# ... ÇÌÈ
Artinya: Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging
babi...
b. Berkata tidak sopan kepada kedua orang tua. Lihat QS.
Al-isra/17:23:
... xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& ÇËÌÈ...
Artinya: ... janganlah
kamu berkata kepada kedua orang tua dengan kata-kata yang dapat menyakitkan
perasaan keduanya ...
Contoh hukum taklifi yang boleh bagi si mukallaf untuk memilih
antara mengerjakan atau meninggalkan.
a. bertebaran atau tidak bertebaran setelah melakukan shalat
Jum’at. Lihat QS. Al-jumu’ah/62:10
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# ... ÇÊÉÈ
Artinya: Apabila shalat telah kamu lakukan maka bertebaranlah
kamu di muka bumi ...
b. mengqasar
shalat ketika berpergian jauh. Lihat Qs. An-Nisa/4:101
#sÎ)ur ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ¨bÎ) tûïÍÏÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ
Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah
mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang
kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.[11]
b. Pembagian
Hukum Taklifi
secara
lebih terperinci, hukum taklifi yang lima (ahkam at-taklifi
al-khamsah) dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. tuntutan asy-syari’
untuk berbuat yang bersifat mesti dilakukan. Bentuk hukum taklifi ini
di sebut al-ijab. Sedangkan pengaruh terhadap suatu perbuatan mukallaf
juga disebut al-wujud. Sementara perbuatan yang di tuntut untuk di
lakukan mukallaf yaitu al-wajib.
2. tuntutan asy-syari’
untuk berbuatyang bersifat tidak mesti dilakukan. Bentuk hukum taklifi inin
disebut an-nadb. Sedangkan pengaruhnya terhadap suatu perbuatan mukallaf
juga di sebut an-nadb. Sementara perbuatan yang dituntut disebut
al-mandub.
3. tuntutan asy-asyri’
untuk meninggalkan perbuatan sifat mesti. Bentuk hukum taklifi ini disebut at-tahrim.
Sedangkan pengaruhnya terhadap suatu perbuatan mukallaf disebut al-hurmah.sedangkan
perbuatan yang di tuntut untuk dilakukan mukallaf disebut al-haram.
4. tuntutan asy-syari’ untuk meninggalkan perbuatan yang bersifat
tidak mesti. Bentuk hukum taklifi ini disebut al-karahah. Sedangkan
pengaruh terrhadap suatu perbuatan mukallaf juga disebut al-karahah.
Sementara perbuatan yang dituntut untuk di lakukan disebut al-makruh.
5. firman
(titah) asy-syari’ yang berupa pilihan bagi mukallaf untuk berbuat atau
tidak berbuat. Bentuk hukum taklifi ini disebut al-ibahah. Sedangkan pengaruhnya terhadap suatu perbuatan
mukallaf juga disebut al-ibahah. Sedangkan perbuatan yang di beri
pilihan kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak melakukannya disebut al-mubah.[12]
Para ulama
ushul fiqh membagi hukum taklifi menjadi lima macam yaitu wajib, mandud, haram,
makruh, dan mubah.[13]
1.
Wajib
a.
Pengertian Wajib
Pada
umumnya ulama ushul fiqh menjelaskan, kata wajib secara elimologi berrati
tetap.[14]
Menurut hukum syara’ wajib ialah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar
dikerjakan secara pasti.
b.
Pembagian Wajib
1)
pembagian wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya.
Dilihat
dari segi pelaksanaannya,hukum wajib terbagi mejadi duataitu, pertama,kewajiban
yang terikat oleh waktu. Contohnya adlah sholat lima waktu. Kedua,wajib
yang tidak terikat oleh waktu. Contohnya adalah naik haji tidak di tetapkan
harus tahun ini atau tahun depan.
2)
Pembagian wajib di lihat dari segi mukallaf sebagai pelaksana.
Dilihat
dari segi ini maka wajib dibagi menjadi dua, yaitu wajib ain dan
wajib kifayah. Wajib ain ialah kewajiban yang harus ditanggung oleh
masing-masing orang. Contoh : shalat, zakat, puasa, haji, menghindari minuman khammar,dan
judi. Wajib kifayah adalah kewajiban yang diperintahkan Allah SWT yang dianggap
cukup jika sudah dikerjakan oleh seseorang atau sekelompok orang, tidak harus
semua orang mengerjakannya. Contoh: menshalatkan mayat, membangun rumah sakit,
menyelamat kan orang tenggelam, menjawab salam,dll.
3)
Pembagian wajib dilihat dari ukuran sesuatu yang diwajibkan.
Dilihat
dari segi ukuran sesuatu yang diwajibkan,hukum wajib dibagi menjadi dua, pertama,muhaddad
(dibatasi ukurannya) yaitu kewajiban yang ukurannya suda diketahui,contoh
sholat dan zakat. Kedua, ghairu muhaddad (tidak dibatasi) yaitu
kewajibanagama tidak menentukan atau membatasi ukurannya. Ukuran serahkan
kepada orang yang akan melakukan kewajiban tersebut, contoh bersedahkah di
jalan Allah, tolong –menolong atas kebaikan, dll.
4)
Kewajiban dilihat dari kesempatan bagi mukallaf untuk melakukannya.
Dilihat
dari segi ini wajib dibagi menjadi dua, pertama,muayyan (tertentu) ialah
kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada mukallaf untuk melakukannya
tanpa ada kesempatan untuk memilih atau meninggalkannya. Contoh shalat fardhu,
puasa,dll. Kedua,mukhayyar (boleh memilih) ialah kewajiban yang harus
dilakukan oleh mukallaf untuk melakukannya dengan memilih antara beberapa
pilihan. Jika ia melakukan salan satu pilihan ini maka gugurlah sudah
kewajiban. Contoh membayar kafarat (denda tebusan).
2.
Mandub
a.
Pengertian Mandub
Secara
bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah ialah perintah yang
datang dari Allah untuk dilakukan oleh mukallaf secara tidak tegar atau harus.
Mandub dalam kajian ushul fiqh disebut juga sunah, nafilah, tatawwu’,
mustahab, dan ihsan. Contoh dari perkara yang sunah adalah mencatat utung,
shalat sunah, dan mengucapkan salam.[15]
b. Pembagian Mandub
1) sunah al-huda
sunah al-huda
(sunah-sunah petunjuk agama) adalah perbuatan yang pelaksanaannya di
tuntunkan oleh nabi yang fungsinya sebagai kelengkapan dari kewajiban-kewajiban
agama.
2) Sunah al-mu’akkadah
Sunah al-mu’akkadah
ialah perbuatan-perbuatan yang senantiasa dilaksanakan rasulullah tetapi
terdapat informasi hadis yang menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut
bukan termasuk perbuatan yang fardhu atau wajib.
3) Sunah ghair al-mu’akkadah
Sunah ghair
al-mu’akkadah (sunah biasa) ialah perbuatan-perbuatan yang di kerjakan
Rasulullah tetapi frekuensi perbuatan tersebut tidak bersifat rutin dan hanya
sesekal dilakukan, sehingga bukan merupakan kebiasaan beliau. [16]
3. Haram
a. Pengertian
Haram
Haram ialah
tuntutan yang tegas dari Allah SWT untuk tidak dekerjakan secara pasti.
b. Pembagian Haram
Haram dapat
dibagi menjadi dua bagian yaitu:
Pertama, haram
asasi (asal) yaitu hukum yang ditegaskan oleh Allah bahwa hukum itu haram sejak
dari permulaan atau haram secara zat (realita / esensial), karena di dalamnya
terkandung kerusakan dan bahaya terdadap agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan. Contohnya berzina, makan bangkai, dan minum arak.
Kedua, haram
disebabkan sesuatu yang lain. Maksudnya hukum asal sesuatu ini tadinya bukan
haram. Tetapi mungkin berupa hukum wajib, sunah, atau mubah. Tetapi hukum itu
dibarengi oleh sesuatu yang baru yang hukumnya haram seperti shalat memakai
baju hasil mencuri, jual beli yang di dalamnya ada unsur tipuan.
4. Makruh
Makruh ialah
sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar seseorang tidak mengerjakan sesuatu,
tetapi perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu ini sifatnya tidak pasti atau
tidak tegas. Atau dengan perkataan lain larangan yang tidak sampai kederajat
haram. Contoh sesuatu yang makruh untuk dilakukan seperti larangan Allah kepada
manusia untuk bertanya tentang sesuatu yang apabila dijelaskan akan menyusahkan
kamu, banyak bertanya, dan menghambur-hamburkan harta.
5. Mubah
Mubah ialah
sesuatu yang diperbolehkan oleh allah kepada seseorang untuk memilih
antara mengerjakan atau meninggalkan.
Konsekuensinya adalah jika dikerjakan akan mendapat pahala jika tidak
mengerjakan tidak mendapat dosa. Contohnya berburu setelah melakukan haji,
berterbaran setelah shalat jum’at,dll.
2.2.2 Hukum Wadh’i
a. pengertian
Hukum Wadh’i
ialah hukum yang menjadikan sesuatu itu sebagi suatu sebab adanya yang lain,
atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagi halangan bagi sesuatu yang lain.
Contoh hukum
yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain:
a. Kewajiban
shalat menjadi sebab kewajiban mengambul wudhu.
b. Mencuri
menjadi sebab adanya hukum potong tangan bagi tangan pelakuanya.
c. Orang yang
berhasil membunuh lawannya dalam peperangan menjadi sebab baginya untuk boleh
merampas harta benda musuh.
Contohnya hukum
yang menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya yang lain:
a. mampu
melakukanperjalanan ke Baitullah merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi
seseorang.
b. kehadiran
saksi dalam akad pernikahan merupakan syarat bagi sahnya akad nikah.
Contoh hukum
yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang adanya yang lain seperti anak yang
membunuh orang tua menjadikan penghalang bagi anak untuk mendapatkan hak waris.
b. Pembagian Hukum Wadh’i
hukum wadh’i
terdiri dari sebab, syarat, penghalang, rukhsah, azimah, sahih, dan butlan dapat
dilihat dalam uraian berikut:
1. Sebab
a. Pengertian
Sebab
Sebab ialah sesuatu yang oleh syari’i (pembuat
hukum) dijadikan sebagai konsekuensi adanya sesuatu yang lain yang menjadi
akibatnya. Dan tidak adanya sebab menjadikan sesuatu yang lain itu pun tidak
ada. Dengan demikian, dapat dikatakan sebagai hukum sebab akibat dimana adanya
sebab pasti ada akibat.
b. Pembagian
Sebab
Dilihat dari
sumbernya muhammad Abu Zahra membagi sebab menjadi dua macam:
1. sebab yang
di timbulkan bukan dari perbuatan mukallaf. Sebab ini merupakan sesuatu yang di
jadikan Allah sebagai petanda adanya hukum. Contohnya masuk waktu merupakan
sebab sdiwajibkannya shalat,dharurat merupakan sebab bolehnya makan
bangkai dan minum arak, kematian merupakan adanya sebab pembagian waris. Semua
perbuatan ini datang bukan karena perbuatan manusia.
2. sebab yang
ditimbulkan dari mukalaf. Seperti pembunuhan dengan sengaja merupakan sebab
adanya hukum qishas, perjalanan jauh merupakan sebab adanya rukhsah bolehnya
tidak berpuasa dan nikah merupakan sebab bolehnya berkumpul.
2. Syarat
a. Pengertian
Syarat
Syarat ialah
sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum, lazim dengan tidak adanya tidak
ada hukum. Tetapi tidaklah lazim dengan adanya hukum. Contoh hubungan
perkawinan suami istri adalah menjadi syarat untuk menjatuhkan talak. Tidak
adanya perkawinan maka tidak adanya talak. Tetapi tidak berarti adanya hubungan
suami istri akan menetapkan adanya talak.
b. Pembagian Syarat
Ulama ushul
fiqh membagi syarat dilihat dari sumbernya menjadi dua macam:
1. syarat syar’i
yaitu syarat secara langsung di datangkan oleh syari’at, artinya syarat ini
bersumber dari syari’at bukan dari yang lainya. Contoh membunuh adlah sesbab
diwajibkannya qishas. Tetapi pembunuhan dimaksud disyaratkan dilakukan
secara sengaja. Syarat “secara sengaja” ini didatangkan oleh syari’at.
2. Syarat ja’ly
yaitu syarat yang keberadaaanya diciptakan oleh mukallaf itu sendiri contohnya
dalam maslah talak dan seorang yang berpuasa nadzar.
3. Penghalang (Mani’)
a. Pengertian Mani’
secara bahasa, mani’ artinya penghalang.
Dalam istilah ushul fiqh mani’
berarti sesuatu yang dengan wujudnya dapat meniadakan hukum atau
membatalkannya. Timbulnya mani’ ini ketika sebab dan syarat itu telah
tampak secara jelas. Contoh seorang anak berhak mendapatkan warisan dari
ayahnya yang sudah mati. Tetapi kemudian si anak diputuskan tidak mendapatkan
warisan peninggalan ayanya karena penghalang. Penghalang itu bisa dari anak itu
murtad atau karena kematian
ayahnya di bunuh oleh si anak.
b. Pembagian Mani’
Ulama ushul fiqh
membagi mani’ menjadi dua macam:
1. Mani’ hukum, yaitu mani’ yang keberadaaannya
diciptakan oleh syari’ay sebagai penghalang munculnya hukum. Contohnya keadaan
haid menjadi mani’ bagi keharusan seorang wanita untuk melaksanakan
shalat, maka didatangkan masa haid seorang wanita tidak wajib melakukan shalat.
2. Mani’ sebab yaitu mani’ yang ditetapkan oleh syara’
sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi
memiliki akibat hukum. Contohnya dalam maslah zakat. Jumlah utung yang
mengakibatkan berkurangnya harta mencapai satu nisab menjadi mani’ bagi
seorang untuk kewajiban membayar zakat karena orang tersebut hilang dari
predikat orang kaya.
4. Rukhsah dan
Azimah
a. Pengertian
Rusksah dan Azimah
Rukhsah ialah
keringanan hukum yang diberikan oleh Allah kepada mukallaf. Dalam
kondisi-kondisi tertentu. Adapun azimah ialah hukum yang berlaku secara
umum yang telah disyariatkan oleh Allah sejak semuladi mana tidak ada
kekhususan lantaran suatu kondisi. Contohnya shalat, puasa, dan zakat.
b. macam-macam
Ruhksah
Ada beberapa macam ruhksah dalam rangka meringankan hukum
taklif:
1. Menggugurkan kewajiban ketika mendapat uzur (kesulitan untuk
menunaikannya). Dengan ruhksah ini hukum azimah(hukum yang umum) tidak berlaku
lagi. Orang yang sakit,orang dalam keadaan darurat boleh makan bangkai atau
minum khamar.
2. Pengecualian. contohnya jual beli dengan salam (menjual benda
yang barangnya tidak nampak) ketika akad jual beli.tetapi jual beli ini sudah
menjadi kebiasaan (urf).
3. Penghapusan (nasakh) yaitu huku-hukum Allah yang berlaku
bagi umat sebelum kita tetapi tidak berlaku lagi bagi kita. Contohnya memotong
sebagian pakaian yang terkena najis.[17]
5. Al-Shihhah
dan al-Buthlan
a. Pengertian Al-Shihhah dan
al-Buthlan
Ash-shihhah ialah suatu perbuatan yang telah memiliki sebab memenuhi berbagai
rukun dan prasyarat syara’ dan tidak terdapat mani’ padanya. Kata kunci perbuatan yang sah ialah
terpenuhnya semua kriteria yang di tuntut dari suatu perbuatan yang
siayariatkan baik dalam bidang ibadah maupun dalam muamalah.
Suatu sebab
yang disebut sah ialah sebab yang menimbulkan musabbab atau dampak
hukum. Dalam hal ibadah shalat wajib misalnya, sebab disebut sah apabila telah
masuk waktu shalat. Demikian juga dengan syarat desebut sah apabila suatu
syarat pantas menimbulkan sesuatu yang dipersyaratkan dan dapat pula melengkapi
sebab atau suatu hukum.
Adapun yang dimaksud al-buthlan (batal) ialah
kebalikan dari pengertian sah, yaitu
suatu perbuatan yang tidak memnuhi semua kriteria yang dituntut oleh syara’.
Sebagai contoh
dalam bidang ibadah, shalat disebut sah apabila seorang mukalaf melakukan
perbuatan shalat yang telah memenuhi semua rukun dan syart-syaratnya dan tidak
terdapat mani' . sebaliknya jika salah satu rukun atau syarat shalat
tidak terpenuhi atau adanya mani’ yang menghalangi keabsahan shalat
tersebut, maka perbuatan shalat tersebut batal. [18]
2.3 Tujuan Syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya
Secara
global, tujan syara’dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan
manusia seluruhnya baik kemaslahan di dunia maupun kemasyalatan akhirat. Akan
tetapi apabila kita perinci, maka tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya
ada lima, disebut Al-Maqashidu I’Khamsah (Panca Tujuan), yaitu:
a. Memelihara Kemaslahatan Agama
agama adalah suatu yang harus dimiliki oleh manusia supaya
martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk yang lain, dan
juga untuk memenuhi hajat jiwanya. Agama Islam harus terpelihara daripada
ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak merusak akidah dan
aklaknya.
b. Memelihara Jiwa
Islam melarang membunuh dan pelaku pembunuhan diancam dengan
hukuman qisas (pembalasan yang seimbang) atau apabila orang yang dibunuh
itu mati, maka si pembunuh juga akan mati, dan apabila orang tersebut tidak
mati tetapi hanya cedera maka orang tersebut juga akan cedera pula.
c. Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk Allah SWT. Ada dua hal yang membedakan manusia
dengan makhluk yang lain. Pertama, Allah SWT telah menjadikan manusia dalam
bentuk yang paling baik,dibandingkan dengan bentuk mkhluk-makhluk lain dari
berbagai macam binatang.
d. Memelihara Keturunan
Untuk ini islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina,
menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara
perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga
perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang berlain
jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu
dianggap sah dan menjadi keturunan san dari ayahnya. Malahan tidak hanya
melarang itu saja, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat membawa kepada zina.
e. Memelihara Harta Benda dan Kehormatan
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah,
namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu sangat
tama’ kepada harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun,
maka islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama
lain. Untuk itu Islam mensyari’atkan peraturan-peraturan mu’amalat. [19]
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Pengertian
hukum syara’ ialah sifat-sifat dan suatu perbuatan mukallaf yang di tetapkan
Allah.
b. Pembagian
Hukum syara’ ada dua yaitu:
1) Hukum takhlifi ialah hukum yang
di kehendaki dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang
mengerjakan atau disuruh memilih antara melakukan dan meninggalkan. Hukum
taklifi dibagi menjadi beberapa yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
2) Hukum Wadh’i ialah hukum yang
menjadikan sesuatu itu sebagi suatu sebab adanya yang lain, atau syarat bagi
sesuatu yang lain atau sebagi halangan bagi sesuatu yang lain. Hukum Wadh’i
dibagi menjadi beberapa yaitu sebab, syarat, penghalang (mani’),
Ruhksah dan azimah dan al-shahhih dan al-Buthlan.
c. Tujuan Syara’ dalam menetapkan
hukum-hukumnya
Secara global, tujan syara’dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah
untuk kemaslahatan manusia seluruhnya baik kemaslahan di dunia maupun kemasyalatan
akhirat. Akan tetapi apabila kita perinci, maka tujuan syara’ dalam menetapkan
hukum-hukumnya ada lima, yaitu:
·
Memelihara
Kemaslahatan Agama
·
Memelihara
Jiwa
·
Memelihara
Akal
·
Memelihara
Keturunan
·
Memelihara
Harta Benda dan Kehormatan
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainudin, Hukum
Islam:pengantar hukum Islam di Indonesia ,cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Bahri, Syamsul, dkk., Metodologi Hukum Islam, cet. I,
Yogyakarta: Teras, 2008.
Dahlan,
Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010.
Djamil, Fathurrahman, Filasafat Hukum Islam, cet. I,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nasution, Muhammad Syukri Albani, Filsafat Hukum Islam, cet.
I, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013.
Shidiq, Sapiudi, Ushul Fiqh, cet .I, Jakarta: Predana Media
Group, 2011.
Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, cet. II, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2010.
Syah, Ismail Muhammad, dkk., Filsafat Hukum Islam, cet. II,
Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
[1] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam(Ciputat:Logos Wacana
Ilmu,1997),hlm.7.
[2] Dedi
Supriadi, Sejarah Hukum islam(Bandung:CV Pustaka Setia,2007),hlm.17.s
[3] Muhammad
Syukri Albani nasution, Filsafat hukum Islam(Jakarta;PT RajaGrafindo
Persada,2013),hlm.51.
[4] Abd.
Rahman Dahlan, Ushul Fiqih(Jakarta:Amzah,2010),hlm.33.
[5]
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar hukum islam di Indonesia(Jakarta:Sinar
Grafika,2006),hlm.3.
[6] Ismail
Muhammad Syah, dkk, Filsafat Hukum Islam(Jakarta:Bumi
Aksara,1992),hlm.11.
[7] Syamsul
Bahri,dkk, Metodologi Hukum Islam(Yogyakarta:Teras,2008),hlm.79.
[8] Abd.
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta:Amzah,2010),hlm.37.
[9] Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqih(Jakarta:Predana
Media group,2011),hlm.124.
[10] Rahman
Dahlan, Ushul Fiqh(Jakarta:Amzah,2010),hlm.40.
[11]Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqih(Jakarta:Predana
Media group,2011),hlm.124-126.
[12] Abd.
Rahman Dahlan. Ushul Fiqh(Jakarta:Amzah,2010),hlm.41-42.
[13]
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih(Jakarta:Predana
Media group,2011),hlm.127.
[14] Abd.
Rahman Dahlan. Ushul Fiqh(Jakarta:Amzah,2010),hlm.45.
[15]
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih(Jakarta:Predana
Media group,2011),hlm.127-130.
[16] Abd.
Rahman Dahlan. Ushul Fiqh(Jakarta:Amzah,2010),hlm.56-58.
[17]
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih(Jakarta:Predana
Media group,2011),hlm.132-141.
[18] Abd.
Rahman Dahlan. Ushul Fiqh(Jakarta:Amzah,2010),hlm.83.
[19] Ismail
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam(Jakarta:Bumi
Aksara,1992),hlm.55-101.