Selasa, 07 Februari 2017

CONOTH MAKALAH HUKUM SYARA'



HUKUM SYARA’
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah

Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Zuhri Humaidi, M.S.I






Disusun Oleh :

                                    Dina Veronita                    933408716
                                                        Kelas E




PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  (STAIN) KEDIRI
2016



KATA PENGANTAR


Segala puji bagi  Allah SWT, yang telah memberikan rezeki yang berlimpah berupa harta yang dititipkan kepada manusia sebagai amanah di muka bumi. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW manusia pilihan yang telah menyampaikan wahyu kepada umatnya yang dapat menerangi kehidupan umat Islam hingga akhir zaman.
Berkat rahmat dan inayah Allah SWT akhirnya Makalah ini dapat terselesaikan meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah ‘’Ushul Fiqih ’’.





 Kediri, 01 Oktober 2016

 Penyusun






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 1
1.3 Tujuan................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 2
            2.1 Pengertian Hukum Syara’.................................................................... 2
            2.2 Pembagian Hukum Syara’................................................................... 3
                        2.2.1 Pengertian Hukum Taklifi.................................................... 3
                        2.2.2 Pengertian Hukum Wadh’i.................................................. 10
            2.3 Tujuan Diturunkannya Syari’at.......................................................... 14
BAB III PENUTUP............................................................................................. 16
            3.1 Kesimpulan......................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 17



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan syariat Islam yang bersifat menyeluruh. Ia merupakan sumber dan rujukan pertama bagi syariat, Karena terdapat  kaidah-kaidah yang bersifat global beserta rinciannya. Jika Al-Qur’an merupakan syariat Islam yang bersifat menyeluruh, maka mayoritas penjelasannya adalah bersifat global dan sedikit sekali yang terinci.
            Sejalan dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan perkembangan dan perubahan secara cepat dalam masyarakat. Banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, khusunya islam, yang ketentuan –ketentuan hukumnya tidak terdapat secara tegasa dan jelas, baik salam Al-Qur’an maupun hadis. Untuk memberikan kepastian hukum terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, maka Islam memberikan jalan kepada umatnya untuk menggunakan akal pikirannya secara cermat, teliti dan bersunguh-sungguh  dalam menetapkannya dengan tepat dan benar.
            Dengan demikian bahwa hukum Islam merupakan pedoman yang tepat untuk memahami hukum syara’ yang menjelaskan tentang perbuatan orang yang mukallaf  berupa tuntutan dan anjuran.
1.2 Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian hukum syara’ ?
b.      Bagaimana pembagian hukum syara’ ?
c.       Apa tujuan Syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya?
1.3 Tujuan
-          Agar pembaca bisa mengerti dan memahami tentang pengertian hukum syara’
-          Agar pembaca bisa mengerti dan memahami tentang pembagian hukum syara’
-          Agar pembaca bisa mengerti dan memahami tujuan Syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum syara’
Syari’ah secara etimologis berarti “jalan keluar air untuk minum”.[1] Syari’ah juga diartikan al-‘utbah (lekuk-liku lembah).[2] Makna harfiah syari’ah  adalah rujukan tindakan umat Islam dalam beragama yang erat hubungannya dengan masalah akidah, ibadah, dan muamalah.kata syari’ah berasal dari bahasa Arab yaitu syara’a, yasyra’u,syar’an wa syari’atan  yang berarti jalan ketempat air. Sedangkan menurut terminologi syari’at berarti jalan yang diterapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan hidupnya untuk mewujudkan kehendak Tuhanagar hidupnya bahagia dunia akhirat[3]
Hukum syara’ merupakan kata majemuk yang berasala dari bahasa Arab (al-hukm asy-syar’i)  yang terdiri dari dua kata yaitu hukum dan syara’. Dalam kamus besar bahasa indonesia. Kata hukum di definisikan, peraturan yang di buat oleh penguasa atau adat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat. Sedangkan pengertian hukum syara’ secara singkat disebut yaitu hukum islam.[4]
Menurut literatur  hukum Islam mempunyai tiga pengertian yaitu sebagai berikut:
a. syaria’ah dalam arti hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa.
b. syari’ah dalam pengertian hukum Islam, baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun yang dapat berubah sesuai perkembangan masa.
c. Syari’ah dalam pengertian hukum yang terjadi berdasarkan istinbath dari Al-Qur’an dan Al-Hadis, yaitu hukum yang diinterprestasikan dan dilaksanakan oleh para sahabat Nabi,hasil ijtihad dari para mujtahid dan hukum-hukum yang di hasilkan oleh para Ahli hukum islam melalui metode qiyas dan ijtihad.[5]
Menurut definisi yang di berikan para ahli syari’at ialah segala kitab Allah yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang diatur tersendiri. Dengan demikian syari’at itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliyah.
Waulaupun mula-mulanya syari’at itu di artikan agama sebagaimana yang di singgung Allah dalam surat Asy Syura:13, namun kemudian di khususkan penggunaannya untuk hukum amaliyah. Pegkhususan ini dimaksudkan karema agama pada dasarnya adlah satu dan berlaku universal, sedangkan syari’at berlaku untuk masing-masing uman dan berbeda dengan umat-umat sebelumnya. Demikian syariat lebih lebih khusus dari agama. Syari’at adalah hukum amaliyah yang berbeda menurut perbedaan rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian mengoreksidan menaskh yang datang lebih dahulu; sedangkan dasar agama yaitu akidah tauhid tidak berbeda antara rasul-rasul.[6]
Ahli ushul merumuskan bahwa syari’at adalah khitab syari’ yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf yang mengandung tuntunan untuk dikerjakan atau memilih mengerjakan atau tidak;atau adala sesuatu sebagai sebab,syarat atau penghalang.[7]
Di kalangan ulama fiqh, yang di maksud dengan hukum syara’ adalah atau sunnah atau haram atau makhruh atau mubah.[8]
2.2 Pembagian Hukum Syara’
2.2.1 Hukum Taklifi.
a. Pengertian
Hukum takhlifi ialah “hukum yang di kehendaki dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakan atau disuruh memilih antara melakukan dan meninggalkan”.[9]
Pelaksanaan hukum taklifi senantiasa dalam batas-batas kemampuan seorang mukallaf untuk melaksanakannya. Dengan kata lain, tidak seorang mukallaf pun yang tidak dapat melaksanakan hukum taklifi yang di bebankan padanya.[10]
Contoh hukum taklifi yang menuntut kepada mukallaf untuk mengerjakannya:
a. berpuasa di bulan ramadan. QS. Al-Baqarah/2:183
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

b. melakukan ibadah haji bagi yang mampu. Lihat QS. Al-Imran/3:97:
¬!ur... n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 .... ÇÒÐÈ  
Artinya: ... mengerjkan haji ke baitullah adalah kewajiban manusia kepada Allah...
            Contoh hukum taklifi yang menghendaki untuk di tinggalkan oleh mukallaf:
a. Makan bangkai, darah, dan daging babi. Lihal QS. Al-Maidah/5:3
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# ... ÇÌÈ  
Artinya: Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi...
b. Berkata tidak sopan kepada kedua orang tua. Lihat QS. Al-isra/17:23:
... Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& ŸÇËÌÈ...  
Artinya:  ... janganlah kamu berkata kepada kedua orang tua dengan kata-kata yang dapat menyakitkan perasaan keduanya ...
Contoh hukum taklifi yang boleh bagi si mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan.
a. bertebaran atau tidak bertebaran setelah melakukan shalat Jum’at. Lihat QS. Al-jumu’ah/62:10
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# ... ÇÊÉÈ   
Artinya: Apabila shalat telah kamu lakukan maka bertebaranlah kamu di muka bumi ...
            b. mengqasar shalat ketika berpergian jauh. Lihat Qs. An-Nisa/4:101
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ¨bÎ) tûï͍Ïÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ  
Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.[11]

b. Pembagian Hukum Taklifi
secara lebih terperinci, hukum taklifi yang lima (ahkam at-taklifi al-khamsah)  dapat diuraikan sebagai berikut:
1. tuntutan asy-syari’ untuk berbuat yang bersifat mesti dilakukan. Bentuk hukum taklifi ini di sebut al-ijab. Sedangkan pengaruh terhadap suatu perbuatan mukallaf juga disebut al-wujud. Sementara perbuatan yang di tuntut untuk di lakukan mukallaf yaitu al-wajib.
2. tuntutan asy-syari’ untuk berbuatyang bersifat tidak mesti dilakukan. Bentuk hukum taklifi inin disebut an-nadb. Sedangkan pengaruhnya terhadap suatu perbuatan mukallaf juga di sebut an-nadb. Sementara perbuatan yang dituntut disebut al-mandub.
3. tuntutan asy-asyri’ untuk meninggalkan perbuatan sifat mesti. Bentuk hukum taklifi ini disebut at-tahrim. Sedangkan pengaruhnya terhadap suatu perbuatan mukallaf disebut al-hurmah.sedangkan perbuatan yang di tuntut untuk dilakukan mukallaf disebut al-haram.
4. tuntutan asy-syari’  untuk meninggalkan perbuatan yang bersifat tidak mesti. Bentuk hukum taklifi ini disebut al-karahah. Sedangkan pengaruh terrhadap suatu perbuatan mukallaf juga disebut al-karahah. Sementara perbuatan yang dituntut untuk di lakukan disebut al-makruh.
5. firman (titah) asy-syari’ yang berupa pilihan bagi mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat. Bentuk hukum taklifi ini disebut al-ibahah.  Sedangkan pengaruhnya terhadap suatu perbuatan mukallaf juga disebut al-ibahah. Sedangkan perbuatan yang di beri pilihan kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak melakukannya disebut al-mubah.[12]
Para ulama ushul fiqh membagi hukum taklifi menjadi lima macam yaitu wajib, mandud, haram, makruh, dan mubah.[13]
1. Wajib
a. Pengertian Wajib
Pada umumnya ulama ushul fiqh menjelaskan, kata wajib secara elimologi berrati tetap.[14] Menurut hukum syara’ wajib ialah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar dikerjakan secara pasti.
b. Pembagian Wajib
1) pembagian wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya.
Dilihat dari segi pelaksanaannya,hukum wajib terbagi mejadi duataitu, pertama,kewajiban yang terikat oleh waktu. Contohnya adlah sholat lima waktu. Kedua,wajib yang tidak terikat oleh waktu. Contohnya adalah naik haji tidak di tetapkan harus tahun ini atau tahun depan.
2) Pembagian wajib di lihat dari segi mukallaf sebagai pelaksana.
Dilihat dari segi ini maka wajib dibagi menjadi dua, yaitu wajib ain dan wajib kifayah. Wajib ain ialah kewajiban yang harus ditanggung oleh masing-masing orang. Contoh : shalat, zakat, puasa, haji, menghindari minuman khammar,dan judi. Wajib kifayah adalah kewajiban yang diperintahkan Allah SWT yang dianggap cukup jika sudah dikerjakan oleh seseorang atau sekelompok orang, tidak harus semua orang mengerjakannya. Contoh: menshalatkan mayat, membangun rumah sakit, menyelamat kan orang tenggelam, menjawab salam,dll.
3) Pembagian wajib dilihat dari ukuran sesuatu yang diwajibkan.
Dilihat dari segi ukuran sesuatu yang diwajibkan,hukum wajib dibagi menjadi dua, pertama,muhaddad (dibatasi ukurannya) yaitu kewajiban yang ukurannya suda diketahui,contoh sholat dan zakat. Kedua, ghairu muhaddad (tidak dibatasi) yaitu kewajibanagama tidak menentukan atau membatasi ukurannya. Ukuran serahkan kepada orang yang akan melakukan kewajiban tersebut, contoh bersedahkah di jalan Allah, tolong –menolong atas kebaikan, dll.
4) Kewajiban dilihat dari kesempatan bagi mukallaf untuk melakukannya.
Dilihat dari segi ini wajib dibagi menjadi dua, pertama,muayyan (tertentu) ialah kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada mukallaf untuk melakukannya tanpa ada kesempatan untuk memilih atau meninggalkannya. Contoh shalat fardhu, puasa,dll. Kedua,mukhayyar (boleh memilih) ialah kewajiban yang harus dilakukan oleh mukallaf untuk melakukannya dengan memilih antara beberapa pilihan. Jika ia melakukan salan satu pilihan ini maka gugurlah sudah kewajiban. Contoh membayar kafarat (denda tebusan).
2. Mandub
a. Pengertian Mandub
Secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah ialah perintah yang datang dari Allah untuk dilakukan oleh mukallaf secara tidak tegar atau harus. Mandub dalam kajian ushul fiqh disebut juga sunah, nafilah, tatawwu’, mustahab, dan ihsan. Contoh dari perkara yang sunah adalah mencatat utung, shalat sunah, dan mengucapkan salam.[15]
b. Pembagian Mandub
1) sunah al-huda
sunah al-huda (sunah-sunah petunjuk agama) adalah perbuatan yang pelaksanaannya di tuntunkan oleh nabi yang fungsinya sebagai kelengkapan dari kewajiban-kewajiban agama.
2) Sunah al-mu’akkadah
Sunah al-mu’akkadah ialah perbuatan-perbuatan yang senantiasa dilaksanakan rasulullah tetapi terdapat informasi hadis yang menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut bukan termasuk perbuatan yang fardhu atau wajib.
3) Sunah ghair al-mu’akkadah
Sunah ghair al-mu’akkadah (sunah biasa) ialah perbuatan-perbuatan yang di kerjakan Rasulullah tetapi frekuensi perbuatan tersebut tidak bersifat rutin dan hanya sesekal dilakukan, sehingga bukan merupakan kebiasaan beliau. [16]
3. Haram
a. Pengertian Haram
Haram ialah tuntutan yang tegas dari Allah SWT untuk tidak dekerjakan secara pasti.
b. Pembagian Haram
Haram dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
Pertama, haram asasi (asal) yaitu hukum yang ditegaskan oleh Allah bahwa hukum itu haram sejak dari permulaan atau haram secara zat (realita / esensial), karena di dalamnya terkandung kerusakan dan bahaya terdadap agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Contohnya berzina, makan bangkai, dan minum arak.
Kedua, haram disebabkan sesuatu yang lain. Maksudnya hukum asal sesuatu ini tadinya bukan haram. Tetapi mungkin berupa hukum wajib, sunah, atau mubah. Tetapi hukum itu dibarengi oleh sesuatu yang baru yang hukumnya haram seperti shalat memakai baju hasil mencuri, jual beli yang di dalamnya ada unsur tipuan.
4. Makruh
Makruh ialah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar seseorang tidak mengerjakan sesuatu, tetapi perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu ini sifatnya tidak pasti atau tidak tegas. Atau dengan perkataan lain larangan yang tidak sampai kederajat haram. Contoh sesuatu yang makruh untuk dilakukan seperti larangan Allah kepada manusia untuk bertanya tentang sesuatu yang apabila dijelaskan akan menyusahkan kamu, banyak bertanya, dan menghambur-hamburkan harta.
5. Mubah
Mubah ialah sesuatu yang diperbolehkan oleh allah kepada seseorang untuk memilih antara  mengerjakan atau meninggalkan. Konsekuensinya adalah jika dikerjakan akan mendapat pahala jika tidak mengerjakan tidak mendapat dosa. Contohnya berburu setelah melakukan haji, berterbaran setelah shalat jum’at,dll.




2.2.2 Hukum Wadh’i
a. pengertian
Hukum Wadh’i ialah hukum yang menjadikan sesuatu itu sebagi suatu sebab adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagi halangan bagi sesuatu yang lain.
Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain:
a. Kewajiban shalat menjadi sebab kewajiban mengambul wudhu.
b. Mencuri menjadi sebab adanya hukum potong tangan bagi tangan pelakuanya.
c. Orang yang berhasil membunuh lawannya dalam peperangan menjadi sebab baginya untuk boleh merampas harta benda musuh.
Contohnya hukum yang menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya yang lain:
a. mampu melakukanperjalanan ke Baitullah merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi seseorang.
b. kehadiran saksi dalam akad pernikahan merupakan syarat bagi sahnya akad nikah.
Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang adanya yang lain seperti anak yang membunuh orang tua menjadikan penghalang bagi anak untuk mendapatkan hak waris.
b. Pembagian Hukum Wadh’i
hukum wadh’i terdiri dari sebab, syarat, penghalang, rukhsah, azimah, sahih, dan butlan dapat dilihat dalam uraian berikut:
1. Sebab
a. Pengertian Sebab
     Sebab ialah sesuatu yang oleh syari’i (pembuat hukum) dijadikan sebagai konsekuensi adanya sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya. Dan tidak adanya sebab menjadikan sesuatu yang lain itu pun tidak ada. Dengan demikian, dapat dikatakan sebagai hukum sebab akibat dimana adanya sebab pasti ada akibat.
b. Pembagian Sebab
Dilihat dari sumbernya muhammad Abu Zahra membagi sebab menjadi dua macam:
1. sebab yang di timbulkan bukan dari perbuatan mukallaf. Sebab ini merupakan sesuatu yang di jadikan Allah sebagai petanda adanya hukum. Contohnya masuk waktu merupakan sebab sdiwajibkannya shalat,dharurat merupakan sebab bolehnya makan bangkai dan minum arak, kematian merupakan adanya sebab pembagian waris. Semua perbuatan ini datang bukan karena perbuatan manusia.
2. sebab yang ditimbulkan dari mukalaf. Seperti pembunuhan dengan sengaja merupakan sebab adanya hukum qishas, perjalanan jauh merupakan sebab adanya rukhsah bolehnya tidak berpuasa dan nikah merupakan sebab bolehnya berkumpul.
2. Syarat
a. Pengertian Syarat
Syarat ialah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum, lazim dengan tidak adanya tidak ada hukum. Tetapi tidaklah lazim dengan adanya hukum. Contoh hubungan perkawinan suami istri adalah menjadi syarat untuk menjatuhkan talak. Tidak adanya perkawinan maka tidak adanya talak. Tetapi tidak berarti adanya hubungan suami istri akan menetapkan adanya talak.
b. Pembagian Syarat
Ulama ushul fiqh membagi syarat dilihat dari sumbernya menjadi dua macam:
1. syarat syar’i yaitu syarat secara langsung di datangkan oleh syari’at, artinya syarat ini bersumber dari syari’at bukan dari yang lainya. Contoh membunuh adlah sesbab diwajibkannya qishas. Tetapi pembunuhan dimaksud disyaratkan dilakukan secara sengaja. Syarat “secara sengaja” ini didatangkan oleh syari’at.
2. Syarat ja’ly yaitu syarat yang keberadaaanya diciptakan oleh mukallaf itu sendiri contohnya dalam maslah talak dan seorang yang berpuasa nadzar.
3. Penghalang (Mani’)
a. Pengertian Mani’
        secara bahasa, mani’ artinya penghalang. Dalam istilah ushul fiqh  mani’ berarti sesuatu yang dengan wujudnya dapat meniadakan hukum atau membatalkannya. Timbulnya mani’ ini ketika sebab dan syarat itu telah tampak secara jelas. Contoh seorang anak berhak mendapatkan warisan dari ayahnya yang sudah mati. Tetapi kemudian si anak diputuskan tidak mendapatkan warisan peninggalan ayanya karena penghalang. Penghalang itu bisa dari anak itu murtad  atau karena kematian ayahnya di bunuh oleh si anak.
     b. Pembagian Mani’
        Ulama ushul fiqh membagi mani’ menjadi dua macam:
1. Mani’ hukum, yaitu mani’ yang keberadaaannya diciptakan oleh syari’ay sebagai penghalang munculnya hukum. Contohnya keadaan haid menjadi mani’ bagi keharusan seorang wanita untuk melaksanakan shalat, maka didatangkan masa haid seorang wanita tidak wajib melakukan shalat.
2. Mani’ sebab yaitu  mani’ yang ditetapkan oleh syara’ sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi memiliki akibat hukum. Contohnya dalam maslah zakat. Jumlah utung yang mengakibatkan berkurangnya harta mencapai satu nisab menjadi mani’ bagi seorang untuk kewajiban membayar zakat karena orang tersebut hilang dari predikat orang kaya.
4. Rukhsah dan Azimah
a. Pengertian Rusksah dan Azimah
Rukhsah ialah keringanan hukum yang diberikan oleh Allah kepada mukallaf. Dalam kondisi-kondisi tertentu. Adapun azimah ialah hukum yang berlaku secara umum yang telah disyariatkan oleh Allah sejak semuladi mana tidak ada kekhususan lantaran suatu kondisi. Contohnya shalat, puasa, dan zakat.
b. macam-macam Ruhksah
Ada beberapa macam ruhksah dalam rangka meringankan hukum taklif:
1. Menggugurkan kewajiban ketika mendapat uzur (kesulitan untuk menunaikannya). Dengan ruhksah ini hukum  azimah(hukum yang umum) tidak berlaku lagi. Orang yang sakit,orang dalam keadaan darurat boleh makan bangkai atau minum khamar.
2. Pengecualian. contohnya jual beli dengan salam (menjual benda yang barangnya tidak nampak) ketika akad jual beli.tetapi jual beli ini sudah menjadi kebiasaan (urf).
3. Penghapusan (nasakh) yaitu huku-hukum Allah yang berlaku bagi umat sebelum kita tetapi tidak berlaku lagi bagi kita. Contohnya memotong sebagian pakaian yang terkena najis.[17]
5. Al-Shihhah dan al-Buthlan
a. Pengertian Al-Shihhah dan al-Buthlan
Ash-shihhah ialah suatu perbuatan yang telah memiliki sebab memenuhi berbagai rukun dan prasyarat syara’ dan tidak terdapat mani’  padanya. Kata kunci perbuatan yang sah ialah terpenuhnya semua kriteria yang di tuntut dari suatu perbuatan yang siayariatkan baik dalam bidang ibadah maupun dalam muamalah.
Suatu sebab yang disebut sah ialah sebab yang menimbulkan musabbab atau dampak hukum. Dalam hal ibadah shalat wajib misalnya, sebab disebut sah apabila telah masuk waktu shalat. Demikian juga dengan syarat desebut sah apabila suatu syarat pantas menimbulkan sesuatu yang dipersyaratkan dan dapat pula melengkapi sebab atau suatu hukum.
Adapun  yang dimaksud al-buthlan (batal) ialah kebalikan  dari pengertian sah, yaitu suatu perbuatan yang tidak memnuhi semua kriteria yang dituntut oleh syara’.
Sebagai contoh dalam bidang ibadah, shalat disebut sah apabila seorang mukalaf melakukan perbuatan shalat yang telah memenuhi semua rukun dan syart-syaratnya dan tidak terdapat mani' . sebaliknya jika salah satu rukun atau syarat shalat tidak terpenuhi atau adanya mani’ yang menghalangi keabsahan shalat tersebut, maka perbuatan shalat tersebut batal. [18]
2.3  Tujuan Syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya
            Secara global, tujan syara’dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya baik kemaslahan di dunia maupun kemasyalatan akhirat. Akan tetapi apabila kita perinci, maka tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya ada lima, disebut Al-Maqashidu I’Khamsah (Panca Tujuan), yaitu:
a. Memelihara Kemaslahatan Agama
agama adalah suatu yang harus dimiliki oleh manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk yang lain, dan juga untuk memenuhi hajat jiwanya. Agama Islam harus terpelihara daripada ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak merusak akidah dan aklaknya.
b. Memelihara Jiwa
Islam melarang membunuh dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman qisas (pembalasan yang seimbang) atau apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati, dan apabila orang tersebut tidak mati tetapi hanya cedera maka orang tersebut juga akan cedera pula.
c. Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk Allah SWT. Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Pertama, Allah SWT telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik,dibandingkan dengan bentuk mkhluk-makhluk lain dari berbagai macam binatang.

d. Memelihara Keturunan
Untuk ini islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang berlain jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dianggap sah dan menjadi keturunan san dari ayahnya. Malahan tidak hanya melarang itu saja, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat membawa kepada zina.
e. Memelihara Harta Benda dan Kehormatan
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu sangat tama’ kepada harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu Islam mensyari’atkan peraturan-peraturan mu’amalat. [19]



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Pengertian hukum syara’ ialah sifat-sifat dan suatu perbuatan mukallaf yang di tetapkan Allah.
b. Pembagian Hukum syara’ ada dua yaitu:
            1) Hukum takhlifi ialah hukum yang di kehendaki dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakan atau disuruh memilih antara melakukan dan meninggalkan. Hukum taklifi dibagi menjadi beberapa yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
            2) Hukum Wadh’i ialah hukum yang menjadikan sesuatu itu sebagi suatu sebab adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagi halangan bagi sesuatu yang lain. Hukum Wadh’i dibagi menjadi beberapa yaitu sebab, syarat, penghalang (mani’), Ruhksah dan azimah dan al-shahhih dan al-Buthlan.
c. Tujuan Syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya
            Secara global, tujan syara’dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya baik kemaslahan di dunia maupun kemasyalatan akhirat. Akan tetapi apabila kita perinci, maka tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya ada lima, yaitu:
·         Memelihara Kemaslahatan Agama
·         Memelihara Jiwa
·         Memelihara Akal
·         Memelihara Keturunan
·         Memelihara Harta Benda dan Kehormatan




DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin,  Hukum Islam:pengantar hukum Islam di Indonesia ,cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Bahri, Syamsul, dkk., Metodologi Hukum Islam, cet. I, Yogyakarta: Teras, 2008.
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010.
Djamil, Fathurrahman, Filasafat Hukum Islam, cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nasution, Muhammad Syukri Albani, Filsafat Hukum Islam, cet. I, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013.
Shidiq, Sapiudi, Ushul Fiqh, cet .I, Jakarta: Predana Media Group, 2011.
Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, cet. II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Syah, Ismail Muhammad, dkk., Filsafat Hukum Islam, cet. II, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.




[1] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam(Ciputat:Logos Wacana Ilmu,1997),hlm.7.
[2] Dedi Supriadi, Sejarah Hukum islam(Bandung:CV Pustaka Setia,2007),hlm.17.s
[3] Muhammad Syukri Albani nasution, Filsafat hukum Islam(Jakarta;PT RajaGrafindo Persada,2013),hlm.51.
[4] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih(Jakarta:Amzah,2010),hlm.33.
[5] Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar hukum islam di Indonesia(Jakarta:Sinar Grafika,2006),hlm.3.
[6] Ismail Muhammad Syah, dkk, Filsafat Hukum Islam(Jakarta:Bumi Aksara,1992),hlm.11.
[7] Syamsul Bahri,dkk, Metodologi Hukum Islam(Yogyakarta:Teras,2008),hlm.79.
[8] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta:Amzah,2010),hlm.37.
[9] Sapiudin Shidiq,  Ushul Fiqih(Jakarta:Predana Media group,2011),hlm.124.
[10] Rahman Dahlan, Ushul Fiqh(Jakarta:Amzah,2010),hlm.40.
[11]Sapiudin Shidiq,  Ushul Fiqih(Jakarta:Predana Media group,2011),hlm.124-126.
[12] Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh(Jakarta:Amzah,2010),hlm.41-42.
[13] Sapiudin Shidiq,  Ushul Fiqih(Jakarta:Predana Media group,2011),hlm.127.
[14] Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh(Jakarta:Amzah,2010),hlm.45.
[15] Sapiudin Shidiq,  Ushul Fiqih(Jakarta:Predana Media group,2011),hlm.127-130.
[16] Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh(Jakarta:Amzah,2010),hlm.56-58.
[17] Sapiudin Shidiq,  Ushul Fiqih(Jakarta:Predana Media group,2011),hlm.132-141.

[18] Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh(Jakarta:Amzah,2010),hlm.83.
[19] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam(Jakarta:Bumi Aksara,1992),hlm.55-101.